Thursday, June 7, 2012

HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA


·   PENGERTIAN PERADILAN AGAMA
Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009
yang dimaksud Peradilan Agama dalam undang-undang ini adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam.

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006
Peradilan Agama adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.

Peradilan Agama adalah suatu daya upaya yang dilakukan untuk mencari keadilan atau menyelesaikan perkara-perkara tertentu bagi orang-orang yang beragama Islam melalui lembaga-lembaga yang berfungsi untuk melaksanakan kekuasaan kehakiman menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

·   proses pemeriksaan di Peradilan Agama
1.Penetapan Majelis Hakim
2. Penunjukan Panitera Sidang
3. Penetapan Hari Sidang
4. Pemanggilan Para Pihak
5. Pelaksanaan Persidangan
6. Acara di Pengadilan Agama
7. Tahapan Persidangan
8. Pelaksanaan Putusan.

a.    Persiapan Persidangan
1. Penetapan Majelis Hakim
· Dalam waktu 3 (tiga) hari kerja setelah proses registrasi perkara diselesaikan, Petugas Meja II menyampaikan berkas gugatan/permohonan kepada Wakil Panitera untuk disampaikan kepada Ketua Pengadilan melalui Panitera.

· Selambat-lambatnya dalam waktu 3 (tiga) hari kerja ketua pengadilan menetapkan Majelis Hakim yang akan menyidangkan perkara tersebut.

2. Penunjukan Panitera Sidang
Panitera pengadilan dapat menunjuk dirinya sendiri atau Panitera Pengganti untuk membantu Majelis Hakim dalam menangani perkara.

3. Penetapan Hari Sidang
· Perkara yang sudah ditetapkan Majelis Hakimnya segera diserahkan kepada Ketua Majelis Hakim yang ditunjuk.

· Ketua Majelis Hakim setelah mempelajari berkas selama 7 (tujuh) hari kerja harus sudah menetapkan hari sidang.

· Dalam menetapkan hari sidang, Ketua Majelis Hakim harus memperhatikan jauh/dekatnya tempat tinggal para pihak yang berperkara dengan tempat persidangan.

· Pemeriksaan perkara cerai dilakukan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal surat guguatan/permohonan didaftarkan di Pengadilan Agama. (Pasal 68 (1) dan 80 (1) UU No. 7/1989).

4. Pemanggilan Para Pihak
· Pemanggilan para pihak untuk menghadap sidang dilakukan oleh Jurusita/Jurusita Pengganti kepada para pihak atau kuasanya di tempat tinggalnya.

· Apabila para pihak tidak dapat ditemui di tempat tinggalnya, maka surat panggilan diserahkan pada Lurah/Kepala Desa untuk diteruskan kepada yang bersangkutan.

· Tenggang waktu antara panggilan para pihak dengan hari sidang paling sedikit 3 (hari) kerja.

· Apabila tempat kediaman orang yang dipanggil tidak diketahui atau tidak mempunyai tempat kediaman yang jelas di Indonesia, maka pemanggilan dilaksanakan dengan melihat jenis perkaranya, yaitu :
1.    Perkara di bidang perkawinan : Dipanggil dengan pengumuman di media masa sebanyak 2 (dua) kali tayangan dengan tenggang waktu satu bulan antara pengumuman pertama dengan pengumuman kedua. Dan tenggang waktu antara pengumuman terakhir dengan persidangan ditetapkan sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan (Pasal 27 PP.9/1975 jo. Pasal 139 KHI).
2.    Perkara yang berkenaan dengan harta : Dipanggil melalui Bupati/Walikota dalam wilayah yurisdiksi Pengadilan Agama setempat dengan menempelkan surat panggilan pada papan pengumuman Bupati/Walikota dan papan pengumuman Pengadilan Agama (Pasal 390 (3) HIR/Pasal 718 (3) RBg).

· Pemanggilan terhadap tergugat/termohon yang berada di Luar Negri dikirim melalui Departemen Luar Negri cq. Dirjen dan Protokol dan Konsuler Departemen Luar Negri dengan tembusan disampaikan kepada KBRI di Negara yang bersangkutan.

b. Pelaksanaan Persidangan
1.    Acara di Pengadilan Agama
Hukum acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini. (Pasal 54 UU No. 7/1989).

2.    Tahapan Persidangan
· Upaya Perdamaian dan Mediasi (Pasal 82 UU No. 9/1975 dan PERMA No. 1/2008).
· Pembacaan Surat Gugatan/Permohonan.
· Jawaban, Reflik, Duflik.
·Pembuktian.
· Khusus perkara perceraian dengan alasan perselisihan perlu didengar keterangan/saksi dari keluarga dan orang dekat dari kedua belah pihak (Pasal 22 PP. 9/1975 jo. Pasal UU No. 7/1989).
· Kesimpulan.
· Putusan.

c. Pelaksanaan Putusan.
1. Perkara Cerai Talak.
· Setelah putusan berkekuatan hukum tetap, Ketua Majelis menetapkan hari sidang penyaksian ikrar talak.
· Pemohon dan termohon dipanggil untuk menghadiri sidang tersebut. Dan termohon mengucapkan ikrar talak.
· Jika termohon telah dipanggil secara sah tidak datang atau tidak mengirim wakinya untuk datang, pemohon dapat mengucapkan ikrar talak tanpa hadirnya termohon.
· Jika pemohon dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan sejak ditetapkan hari sidang penyaksian ikrar talak, tidak datang menghadap atau tidak mengirim wakilnya meskipun telah dipanggil secara sah, maka gugurlah kekuatan putusan tersebut (Pasal 70 UU No. 7/1989).

2.Perkara yang berkenaan dengan Harta
· Jika putusan telah berkekuatan hukum tetap, dan para pihak tidak mau melaksanakan isi putusan tersebut dengan suka rela, maka pihak yang dimenangkan putusan tersebut mengajukan permohonan eksekusi ke Pengadilan Agama.
· Eksekusi dilaksanakan oleh Jurusita.

·         SYARAT PNS POLIGAMI
PP no. 10 tahun 1983 tentang Izin Perkawinan Dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil
Pasal 4
(1) Pegawai Negeri Sipil pria yang akan beristeri lebih dari seorang, wajib memperoleh izin lebih dahulu dari Pejabat.
(2) Pegawai Negeri Sipil wanita tidak diizinkan untuk menjadi isteri kedua/ketiga/keempat dari Pegawai Negeri Sipil.
(3) Pegawai Negeri Sipil wanita yang akan menjadi isteri kedua/ketiga/keempat dari bukan Pegawai Negeri Sipil, wajib memperoleh izin lebih dahulu dari Pejabat.
(4) Permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (3) diajukan secara tertulis.
(5) Dalam surat permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), harus dicantumkan alasan yang lengkap yang mendasari permintaan izin untuk beristeri lebih dari seorang atau untuk menjadi isteri kedua/ketiga/keempat.
PP no. 45 tahun 1990 tentang Perubahan PP 10-1983 Tentang Izin Perkawinan Dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil, meniadakan butir 3 pasal 4  no. 10/1983
Pasal 4
(1) Pegawai Negeri Sipil pria yang akan beristri lebih dari seorang, wajib memperoleh izin lebih dahulu dari Pejabat.
(2) Pegawai Negeri Sipil wanita tidak diizinkan untuk menjadi istri kedua/ketiga/keempat.
(3) Permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan secara tertulis.
(4) Dalam surat permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), harus dicantumkan alasan yang lengkap yang mendasari permintaan izin untuk beristri lebih dari seorang”.
Pasal 5 PP no. 10 tahun 1983
(1) Permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4 diajukan kepada Pejabat melalui saluran tertulis.
(2) Setiap atasan yang menerima permintaan izin dari Pegawai Negeri Sipil dalam lingkungannya, baik untuk melakukan perceraian atau untuk beristeri lebih dari seorang, maupun untuk menjadi isteri kedua/ketiga/keempat, wajib memberikan pertimbangan dan meneruskannya kepada Pejabat melalui saluran hierarki dalam jangka waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan terhitung mulai tanggal ia menerima permintaan izin dimaksud.
PP no. 45 tahun 1990 Mengubah ketentuan ayat (2) Pasal 5 sehingga berbunyi sebagai berikut: (Perhatikan kalimat menjadi isteri kedua/ketiga/keempat ditiadakan)
“(2) Setiap atasan yang menerima permintaan izin dari Pegawai Negeri Sipil dalam lingkungannya, baik untuk melakukan perceraian dan atau untuk beristri lebih dari seorang, wajib memberikan pertimbangan dan meneruskannya kepada Pejabat melalui saluran hierarki dalam jangka waktu selambat-lambatnya tiga bulan terhitung mulai tanggal ia menerima permintaan izin dimaksud”.
Pasal 10
(1) Izin untuk beristeri lebih dari seorang hanya dapat diberikan oleh Pejabat apabila memenuhi sekurang-kurangnya salah satu syarat alternatif dan ketiga syarat kumulatif sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) Pasal ini.
(2) Syarat alternatif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ialah
a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; atau
c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
(3) Syarat kumulatif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ialah
a. ada persetujuan tertulis dari isteri;
b. Pegawai Negeri Sipil pria yang bersangkutan mempunyai penghasilan yang cukup untuk membiayai lebih dari seorang isteri dan anak anaknya yang dibuktikan dengan surat keterangan pajak penghasilan; dan
c. ada jaminan tertulis dari Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan bahwa ia akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya.
(4) Izin untuk beristeri lebih dari seorang tidak diberikan oleh Pejabat apabila:
a. bertentangan dengan ajaran/peraturan agama yang dianut Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan;
b. tidak memenuhi syarat alternatif sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ketiga syarat kumulatif dalam ayat (3);
c. bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
d. alasan yang dikemukakan bertentangan dengan akal sehat; dan/atau

No comments:

Post a Comment